Tulisan ini saya buat saat masih kuliah, kira-kira 4 tahun yang lalu.
Teman saya mengirim sms untuk meminta menulis artikel tentang cinta yang berbeza alias cinta yang universal. Hanya satu yang terlintas di kepala saya. Yup, my love to God. Saya mencintai Tuhan dengan segenap hati dan roh.
Mungkin bagi orang lain hal itu biasa saja, karena sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dan didoktrin sejak kecil untuk mencintai Tuhan. But, I was an atheist. Saya pernah mengalami masa-masa kritis saat saya melihat Tuhan hanya sebagai imajinasi banyak orang dan diwariskan turun temurun. Sehingga mau tak mau saya pun harus ikut percaya Tuhan. HARUS tanpa boleh bertanya kenapa. Karena kalau berani-berani bertanya tentang keberadaan Tuhan, kamu akan kualat dan dosa. Mungkin yang mengejutkan, hal ini saya alami ketika masih SD.
Di masa-masa SD, saya sering bercermin sambil bertanya siapa sebenarnya saya? Dari mana saya ini berasal? Kenapa saya lahir sebagai saya? Bukan sebagai kakak saya atau sebagai teman saya? Waktu saya tanyakan itu ke orang tua saya, mereka jawab saya berasal dari Tuhan. Tapi siapakah Tuhan? Dari mana dia berasal? Seperti jawaban yang selama itu saya selalu terima, orang tua saya hanya bilang 'Yah memang begitu dari sononya'. Saya selalu dimarahi setiap bertanya: 'Apakah Tuhan memang ada?'. Biasanya saya akan mendapat jawaban, 'Iya, Tuhan itu ada.' Tapi tiap saya minta buktinya, mereka tidak bisa membuktikan. Akhinya saya lebih memilih untuk tidak mempercayai Tuhan. Walaupun terbatas pada hati saja, tidak pernah saya utarakan kepada siapapun. Pencarian saya berlanjut ke SMP. Beruntung sekali guru agama saya, lumayan jago dalam hal teologi. Semakin hari saya berubah dari atheis menjadi agnostik, berusaha mencari kebenaran. Guru agama saya itu sempat membahas mengenai orang atheis. Saya ingat kata-kata sederhananya yang malah membuat hati saya terkocok. Inti kata-kata itu adalah alam begini luas dan rumit bahkan otak manusia yang kecil itu juga rumit banget. Pastinya ada suatu kekuatan yang tak tercapai pikiran manusia yang terbatas itu. Kekuatan yang mengendalikan semua yang ada. Ia membuat perumpaan angin. Tidak bisa dlihat, tidak bisa disentuh, tapi bisa dirasakan. Begitupula dengan Tuhan.
Selama 3 tahun di SMP saya benar-benar berubah menjadi orang yang theis. Saya rajin berdoa dan memuja Tuhan (tapi masih jarang pergi ke tempat ibadah). Tapi kalau ditanya apakah benar-benar mencintai Tuhan. Mungkin saat itu saya akan bingung menjawabnya. Karena saya merasa Tuhan mempunyai kuasa yang begitu besar tapi mengapa Tuhan membiarkan umatnya menderita. Saya ingat ketika guru agama saya bilang kalau mati dan sakit adalah upah dosa. Lalu saya tanya bagaimana dengan orang-orang yang sejak lahir sudah pincang, sakit-sakitan lalu meninggal dalam usia belum genap setahun. Dosa apa yang sempat mereka perbuat? Guru saya menjawab itu adalah cara Tuhan agar umat lainnya yang beruntung senantiasa ingat untuk bersyukur atas hidupnya. Saat itu saya pikir, alangkah egoisnya saya yang beruntung bersyukur di atas penderitaan orang lain. Tambah lagi, kalau saya yang menjadi orang yang pincang tadi, saya akan berseru dimana letak keadilan bagi saya yang belum setahun hidup, belum sempat berbuat apa-apa karena penyakitan, belum sempat berbuat dosa (selain dosa senantiasa menghujat ketidakadilan Tuhan) lalu meninggal. Kenapa saya yang harus jadi orang pincang sebagai pengingat orang-orang beruntung itu. Kenapa bukan jiwa orang lain saja yang diturunkan ke bumi sebagai orang pincang?
Hingga akhirnya saya masuk SMU. Selama ini saya lebih sering beribadah sesuai dengan agama yang diajarkan di sekolah SMP (padahal agama saya di KTP dan pelajaran agama yang saya terima di SMP itu berbeda!). Karena SMU saya adalah SMU negeri, maka saya pun harus mengikuti pelajaran agama sesuai dengan agama KTP saya. Awalnya saya malas-malasan, karena saya sama sekali tidak mengerti, tidak mengenal, dan tidak paham dengan agama saya sendiri. Saya bahkan lebih mengenal konsep dan wisdom word agama yang saya pelajari waktu SMP. Akhirnya saya pun datang mengikuti pelajaran agama itu hanya demi nilai saja.Namun sekali lagi, Tuhan menunjukkan caranya yang misterius. Saya mendapat guru agama (kali ini agamanya sesuai KTP saya) yang benar-benar paham tentang agama saya. Bukan sekedar pemahaman luarnya saja. Tapi dia mengerti filsafat dan latar belakang ajaran agama saya itu. Yang mengejutkan, saya mendapatkan jawaban dari hampir semua pertanyaan saya tentang Tuhan dan alam semesta ini. Saat itulah beban saya terangkat. Selama ini saya selalu menganggap diri saya ini berdosa karena selalu mempertanyakan Tuhan. Tapi ternyata bagi agama saya, hal itu tidak menjadi masalah. Selama ini saya juga merasa berdosa karena mempelajari agama lain, tapi sekali lagi saya terkejut, karena ternyata agama saya malah menyarankan umatnya untuk mempelajari agama lain sebanyak-banyaknya. Semakin hari saya makin menemukan Tuhan. Semakin hari itu pula saya makin mencintai Tuhan dan mulai berhenti bertanya mengapa hidup penuh dengan duka cita (tentu saja saya masih mengalami masa-masa sedih, tapi sekarang saya tidak khawatir, karena Tuhan seperti kekasih yang selalu mendampingi saya).
Sampai saat ini saya masih terus memperdalam pengetahuan saya tentang Tuhan, dari sudut pandang agama saya dan juga agama-agama lainnya. Banyak teman saya yang akhirnya menyebut saya sinkretisme, tapi entah mengapa saya malah bangga disebut seperti itu. Mungkin seperti kakak saya yang setiap ditanya 'Agama kamu apa?' selalu menjawab, 'Agama dunia'. Saya ingat salah satu teman pernah bilang dia ingin menganut Agama Cinta. Tapi kalau dipikir-pikir, agama mana yang bukan agama cinta?
Lucu sekali memang, sejak kecil saya berusaha mencari Tuhan melalui agama-agama orang lain, tapi pada akhirnya bertemu Tuhan di agama sendiri. Jauh-jauh nyari TV ke rumah tetangga, padahal di rumah sendiri sudah ada Home Theatre. Tulisan ini bukan dimaksudkan bahwa agama saya lebih baik daripada agama orang lain. Atau kalau mempelajari agama saya pasti bisa 'bertemu' Tuhan. Tidak kok. Buktinya teman saya yang tidak percaya dengan yang namanya agama (tapi dia percaya Tuhan), berusaha mempelajari agama saya namun tidak berhasil mendapatkan apa-apa. Sama sekali tidak memahami makna agama saya. Pada akhirnya dia berhasil mendapatkan kedamaian dan menemukan Tuhan di agama lain. Bagi saya, semua agama sama baiknya, karena sama-sama percaya Tuhan yang satu. Sama-sama cinta Tuhan dengan segenap roh.
1 komentar:
Satu lagi..Para Pencari TUHAN.
TUHAN tidak akan ditemukan di dalam agama, tapi TUHAN ada di hati, dan jiwa, karena TUHAN yang memilikinya.
Carilah TUHAN dalam diri, karena semakin kita mengenal diri kita, semakin kita kenal dengan TUHAN kita.
Pemilik jiwa...
Posting Komentar