Juni 14, 2010

Optimis Bukan Masokis

Sebut satu manusia tanpa masalah. Jawabannya NOL.
Karena masalah pada akhirnya mendatangkan kebahagiaan.
Seperti manusia mengenal siang karena ada malam.
Seperti manusia mengenal laki-laki karena ada perempuan.

Juni 13, 2010

Menonton Infus

Malam sebelumnya saya masih ketawa-ketiwi dengan Ibu.
Paginya saya sakit kepala luar biasa dan muntah tiada henti.
Siangnya saya dilarikan ke UGD karena tubuh lemas terkulai.
Sorenya saya mengigil hebat di ruangan UGD padahal infus sudah terpasang.
Malamnya saya dipindahkan ke kamar rawat inap.

Keesokan paginya, saya didiagnosa terkena deman dengue. Trombosit saya menurun. Selama 5 hari saya terkapar di ranjang putih dengan kerai di sekililing ranjang. Tidur sekamar dengan 2 orang pasien pesakitan lainnya. Bosan sudah tentu. Bahkan TV yang menjadi alat hiburan favorit saya pun tak bisa mengusir kebosanan saya. Lima hari terasa panjang. Hanya saat-saat makan adalah momen yang saya tunggu. Ya, untungnya walau saya sedang sakit, nafsu makan saya tetap ada. Hal yang jarang terjadi, karena biasanya kalau saya sakit, nafsu makan turun drastis.

Setiap malam saya kelaparan, karena makan malam diberikan pukul 5 sore. Bayangkan, jam LIMA sore! Biasanya jam segitu, saya lagi asyik minum kopi alias tea time bukan dinner time! Pasien sebelah saya berisik bukan main, membuat saya sering terbangun saat tidur.

Lalu apa yang saya lakukan? Selain TV dan makan, saya menonton infus. Bukan sekedar mengisi kebosanan, tapi karena takutnya infus habis dan saya tidak tahu. Tidak bisa selamanya mengandalkan perawat untuk memonitor kapan infus habis. Biasanya perawat terlalu sibuk untuk mengingat infus-infus dari sekian banyak pasien yang ada.

Menonton Infus

Dan, saya pun merenung. Menatap cairan bening berjalan melalui selang dan masuk ke kulit, mengalir melalui pembuluh darah ke seluruh tubuh. Ada kalanya, ketika saya bangun dari tempat tidur untuk ke kamar mandi, sambil menenteng-nenteng infus, aliran cairan infus macet. Saat macet, darah saya yang malah keluar dan naik ke selang infus. Jika saya kembali rebahan di tempat tidur, darah perlahan terdorang cairan infus dan kembali masuk ke tubuh. Di saat inilah, darah merah tampak memecah menjadi sel-sel kecil. Tiap butirannya menari kembali menjadi satu di dalam tubuh saya.

Melihat darah yang begitu kecil bisa mengisi seluruh tubuh manusia. Mengalir, menjelajahi, dan menghidupi manusia. Seketika saya merasa kecil. Hanya satu sosok manusia di alam semesta yang luas tak terbayangkan. Hidup dari hal-hal kecil, terbentuk dari hal-hal kecil.

Siapakah saya, seorang manusia yang ingin berontak pada Tuhan? Saya bukan siapa-siapa tapi sekaligus siapa. Sakit kali ini pun saya terima dengan segala kelapangan hati. Karena saya tahu, Tuhan sedang menyapa saya.

Jadilah kehendak-Mu, bukan kehendakku.