Desember 27, 2009

Pertanda di Kala Macet

Kopaja tidak bergerak. Peluh bercucuran. Depan mobil, belakang mobil, samping kanan mobil, samping kiri motor. Sejauh mata memandang hanya ada mobil, bus, dan motor. Patung Pemuda di Bunderan Senayan sudah tampak di pelupuk mata. Rasanya begitu tergapai tapi tak bisa beranjak.

Jalanan macet memang sudah biasa di Jakarta. Hari itu, sudah lebih dari 2 jam saya berada di jalan. Pantat sudah pedas. Amarah pun memuncak, walau entah pada siapa. Dalam hati segala sumpah serapah tumpah. Saya ada pilihan: turun dari Kopaja dan naik ojek, turun dari Kopaja-jalan agak jauh-lalu naik Trans Jakarta, atau tetap di Kopaja dan bersabar.

Pilihan pertama lewat karena uang tidak cukup, pilihan ketiga lewat karena kesabaran saya sudah di ubun-ubun. Ok, pilihan kedua yang paling tepat.

Masih sambil mengumpat dalam hati, saya bersiap untuk turun, dan seketika mata saya menangkap suatu objek:

Gua Maria

Patung Bunda Maria di dalam gua dan dengan ukuran mini, tampak bersahaja di sebuah kantor akuntan di pinggir jalan. Saya tertegun sejenak, menatap Bunda Maria yang seolah-olah sedang memandang saya.

Seketika amarah saya hilang, kembali duduk, dan menghela nafas. Baiklah Tuhan, saya belajar bersabar.