Di bulan puasa, selepas jam 6 sore, jalanan begitu lengang. Biasanya, jam segitulah neraka macet dimulai.
Gde berceloteh pada supir taksi yang membawa kami pulang. Celotehan betapa indahnya jika jalanan Jakarta bisa selalu lowong seperti ini. Sebenarnya macet tetap ada, hanya berpindah waktu saja. Selama bulan puasa, macet berpesta di jam 4 sore. Tapi, buat saya yang tiap hari pulang kantor jam 6 sore, tentu saja jalanan bagaikan permadani indah nan mulus.
Gde kemudian berkomentar tentang karakter manusia Jakarta yang berlomba-lomba pulang cepat demi buka puasa bersama di rumah. Mendengar pernyataan Gde itu, supir taksi pun menyahut dengan cueknya:
“Ah, warung-warung kalau jam makan siang tetap rame tuh. Orang Jakarta sih sahur iya, makan siang juga iya. Nanti pas buka puasa, juga ikut makan, sambil bilang ‘Aduh lapar nih’, padahal dia udah makan siang.”
Saya dan Gde pun hanya tertawa. Terlintas di kepala, ucapan teman saya:
“Duh, kok jatah gak puasa gue belum datang-datang juga ya?”
Jatah gak puasa maksudnya datang bulan. Saya hanya diam. Tapi dalam hati bertanya, “Jadi sebenarnya apa niatmu dalam berpuasa?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar