Saya baru kelar membaca "Laskar Pelangi" karangan Andrea Hirata, beberapa hari yang lalu. Novel yang sedang heboh dan dibicarakan orang-orang. Sudah beberapa kali cetak dan dibahas di berbagai media. Telat juga saya, baru baca sekarang.
Salah satu karakter dalam novel (yang true story Andrea Hirata semasa kecil) bernama Lintang. Seorang anak genius yang akhirnya terpaksa berhenti sekolah karena harus menghidupi keluarganya. Berbagai perasaan berkecamuk dalam diri teman-teman Lintang, rasanya seperti tak menerima nasib yang menimpa Lintang. Bagaimana mungkin seorang anak yang begitu menakjubkan kepintarannya dan mencintai ilmu serta sekolah segenap jiwa, harus melepas impiannya. Sementara (seperti yang ditulis dalam novel tersebut) anak-anak kaya banyak menyia-nyiakan sekolahnya.
Saya termasuk orang yang disindir itu. Jangan salah sangka, saya bukan anak orang kaya. Terbukti dari tagihan listrik, rumah bapak saya (tempat saya selama ini tinggal) cuma 900 watt. Saya juga bisa dibilang tidak menyia-nyiakan sekolah. Dari SD sampai SMA bisa dihitung pakai jari berapa kali saya dapat nilai merah, bisa lolos SMPB juga, lumayan kan berarti ada perjuangan dalam menumpuh jenjang pendidikan.
Tapi satu-satunya alasan saya mau tetap bersekolah sampai bangku kuliah karena saya merasa itu merupakan kewajiban saya pada orang tua. Hutang saya lunas ketika saya diwisuda. Dari kecil (bahkan dari TK) saya tidak suka sekolah, bangun pagi di hari sekolah begitu menyiksa. Duduk di kelas mendengarkan ceramah guru benar-benar membuat saya gelisah.
Hanya beberapa pelajaran yang saya suka, seperti bahasa indonesia, tata busana, dan elektronika. Waktu kuliah hanya mata kuliah seperti teknik kamera dan editing, praktikum media cetak, dsbnya. Bisa dilihat pelajaran yang saya sukai sebagian besar adalah yang praktikal.
Masa-masa sekolah saya sering tidak masuk sekolah bukan karena sakit (walau ini juga sering) tapi karena memang ogah ke sekolah. Untungnya, orang tua saya tipikal yang tidak mau memaksa saya harus ke sekolah saat ke-ogah-an saya kumat. Gini-gini saya anak bertanggung jawab, selalu bawa pulang rapor yang bagus dan membanggakan. Waktu kuliah makin parah lagi, saya sering cabut dan titip absen. Bapak saya yang rajin bangunin saya saja sampai tahu siapa teman-teman saya yang rajin nge-absenin saya. Sementara adik saya biasa koar-koar saat saya males ke kampus:
"Dek, ada beribu-ribu orang mau masuk ke jurusan loe! Tapi gagal gara-gara itu kampus lebih milih loe untuk kuliah di sana!"
Biasanya setelah kena ceramah adik saya ini, saya seketika bangun dan dengan lunglai pergi ke kampus tanpa mandi (karena sudah telat).
Saya selalu bilang ke teman-teman kalau saya ini pemalas. Saat dosen sedang mengajar, dengan brengseknya saya malah tidur dengan nyenyak. Belum lagi kalau udah mau dekat ujian, saya panik sendiri minjam catatan teman-teman yang rajin. Orang tua saya sempat khawatir apakah saya bisa lulus kuliah. Oiya, saya sudah beberapa kali terpaksa mengulang mata kuliah yang gagal. Tidak ada istilah 'mencuci' mata kuliah dalam kamus saya. Nilai C menurut saya sudah bagus.
Tapi, teman saya suatu hari bilang, kalau saya bukan pemalas tapi pragmatis. Kalau dipikir-pikir iya juga. Saya mau banget kalau disuruh kursus komputer, kursus masak, dll. Intinya asal ilmu yang didapat tidak cuma teori.
Novel Laskar Pelangi membawa saya sebuah perenungan. Di satu sisi, saya bersyukur bisa sekolah. Zaman sekarang pekerjaan yang bagus hanya bisa dikejar dengan ijazah. Pelajaran di sekolah menurut saya hanya berupa nilai dan ijazah. Tapi saya beruntung mendapatkan berbagai pengalaman dalam kehidupan bersekolah. Di sekolah (apalagi di kampus), saya bertemu orang-orang menakjubkan, kisah-kisah memukau, persahabatan yang erat, guru dan dosen yang berdedikasi.
Di sisi lain, ada satu hal yang terlintas saat membaca akhir cerita Laskar Pelangi, nasib Lintang yang menyedihkan. Hati saya berkata, "Lintang, andai bisa, saya mau memberikan kesempatan saya bersekolah dan kuliah untukmu." Rasanya akan lebih berguna...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar