Setiap orang biasanya memiliki beberapa impian. Jarang saya temui ada orang yang hanya punya satu mimpi. Impian-impian ini memiliki skala prioritas, mana yang paling fokus untuk dikejar, mana impian yang berperan sebagai pelengkap dari impian utama, mana impian alternatif untuk berjaga-jaga seandainya impian utama tak bisa diraih.
Malam itu, saya bertemu teman lama saya. Setelah diawali dengan hina-menghina (inilah cara kami berbasa-basi), kami pun mulai saling bertanya kesibukan masing-masing. Umurnya sudah nyaris kepala 4 dan sampai beberapa bulan kemarin dia sama sekali tidak menunjukkan adanya kesempatan melepas status jomblo (ingat status jomblo bukan status single, artinya selama ini dia sama sekali tak punya pacar!).
Kabar gembira itu pun terucap dari mulutnya. Teman saya itu akan menikah pada bulan Maret mendatang. Dia pun menyuruh saya untuk menyempatkan waktu datang ke pernikahannya. Masalahnya dia mau menikah di Jawa Timur. Jauh banget! Berarti saya harus nabung untuk biaya perjalanan ke sana dulu, dong.
Sebuah pertanyaan melintas di kepala saya, bukankah dia mengejar mimpinya untuk bekerja di sebuah departemen milik pemerintah di ibukota sebagai konsultan? Teman saya selanjutnya mengatakan bahwa setelah menikah, dia akan menetap di rumah mertuanya (di Jawa Timur). Lalu bagaimana dengan mimpinya untuk berkarir di Jakarta? Saya tak sempat bertanya.
Tapi manusia selalu berada di suatu pendakian, dengan berbagai jalan yang bisa dipilih untuk mencapai puncak. Pacar saya sempat bertanya pada saya,
"Lalu gimana dengan mimpi dia kerja di departemen X? Dulu dia ngebet banget pengen di sana."
Saya hanya bisa membalas lirih,
"Menikah pun impiannya."
Pacar saya hanya diam. Kadang manusia harus merebut mimpi yang sudah di depan mata dibanding mimpi yang masih di awang-awang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar