Mei 21, 2010

Cicak dan Doa

Konon, cicak adalah binatang yang peka pada getaran.
Bahkan peka terhadap getaran doa.

Di beberapa daerah di Eropa Selatan, ada kepercayaan bahwa cicak adalah binatang beracun. Di India, bunyi cicak malah dianggap sebagai pertanda buruk. Masyarakat di India bagian utara percaya bunyi cicak dapat mendatangkan iblis ke dalam rumah, kecuali si penghuni langsung meniru decak cicak saat mendengar bunyi cicak tersebut.

Sebaliknya, bangsa-bangsa Austronesia, termasuk di dalamnya manusia Nusantara, percaya bahwa cicak memiliki kemampuan gaib. Suku Maori (suku asli di Selandia Baru) yang masih termasuk dalam rumpun Austronesia, percaya cicak merupakan simbol dunia spritual dan memiliki kekuatan gaib. Binatang ini dianggap membawa pertanda dari alam spiritual untuk manusia. Petunjuk dari Tuhan yang disampaikan ke manusia melalui cicak.

Keyakinan ini masih dipercaya pula oleh masyarakat Hindu Bali, sebagai warisan kepercayaan dari zaman purba Austronesia. Kepercayaan ini bukan berasal dari India, melainkan hasil akulturasi kepercayaan Austronesia dengan Hindu.

Salah satunya terlihat dari sajen untuk memuja Dewi Saraswati, dewi ilmu pengetahuan. Sajen ini disebut sebagai Jajan Saraswati, yang bentuknya bukan Dewi cantik, tapi malahan cicak. Sajen ini terbuat dari tepung beras dan terdapat lukisan dua ekor cicak. Mata cicak dibuat dari beras hitam dan di sebelahnya ada telur cicak. Sajen ini menyiratkan filosofi bahwa manusia sekiranya tidak hanya mengembangkan kemampuan logika saja, tapi harus mampu meningkatkan daya kepekaan intuisi agar mampu menangkap getaran-getaran spiritual.

Di kepercayaan yang berkembang di masyarakat Bali, jika seseorang mengucapkan sesuatu dan diiringi dengan bunyi cicak, orang tersebut secara refleks akan menyahut, "Turun Saraswati". Mengapa refleks? Karena hal ini sudah menjadi kebiasaan turun-temurun. Dengan menyahut "Turun Saraswati" maka diyakini apa yang telah diucap akan benar-benar kejadian. Ibaratnya bunyi cicak merupakan pertanda bahwa: "Tuhan mendengar ucapan saya".

Uraian di atas membawa saya ke sebuah kisah di suatu hari. Saat itu saya sedang berkumpul bersama kedua teman saya, Mercedes (sebut saja begitu) dan Wulan (setengah nama samaran), di kamar Wulan. Kebetulan
Mercedes dan Wulan sedang dalam tahap mencari jodoh.

Aura curhat makin terasa serius ketika
Mercedes mulai menceritakan kegundahan hatinya mengenai asmara. Betapa Mercedes memiliki keinginan dan ketakutan tertentu akan sebuah hubungan. Dia sampai beranggapan bahwa di luar sana tidak ada orang yang bisa sepaham dengannya. Saya pun balik membalas ucapan pesimis teman saya itu,
"Pasti ada lah. Pasti ada orang yang punya pemikiran sama dengan lo."

Sejurus kemudian, tiba-tiba saja terdengar bunyi cicak. Sontak saya langsung terduduk (posisi saya sebelumnya lagi tidur-tiduran) dan menyahut:
"Turun, Saraswati! Tuh kaaaan!"

Mercedes dan Wulan pun menatap saya dengan bingung. Saya pun menjelaskan panjang lebar kalau orang Bali menganggap sahutan cicak sebagai pertanda bahwa ucapan sebelumnya akan terjadi. Dan, inilah reaksi pertama dari Wulan: dia berteriak histeris dengan nada kesal sambil berkata,
"Ini rumah gue! Cicak-cicak gue! Kenapa baru bunyi pas giliran
Mercedes sih??!! Gue bakal cari itu cicak! Kenapa giliran gue yang nyahut, dia gak bunyi?!"

Seketika itu juga, saya tertawa terbahak-bahak.
Mercedes pun mengeluarkan kata-kata yang malah makin membuat Wulan panas.

Mungkin setelah itu, Wulan benar-benar mencari-cari si cicak, memasukannya ke kandang, dan memaksa si cicak untuk berbunyi. Oke, saya berlebihan (hehe).

Percaya atau tidak, keesokan harinya,
Mercedes bercerita bahwa malam setelah kejadian cicak, dia berkenalan dengan seseorang yang sepaham dengannya mengenai asmara. Tentu saja hal ini mengagetkannya. Karena setelah bertahun-tahun, ternyata ada juga orang dengan prinsip yang sama dengannya.

Memang sosok itu belum tentu jodoh
Mercedes. Tapi satu hal pasti, Mercedes tidak sendirian. Kalau ada dua orang dengan pemahaman yang sama, maka tidak menutup kemungkinan ada orang-orang lain di luar sana yang berpikiran serupa.

Sebuah pertanda yang sangat jelas, Tuhan tidak akan membiarkan manusia merasa sendiri.


Sumber:
- The Folklore of Geckos: Ethnographic Data From South and West Asia.
- Maori Gecko
- Hari Raya Saraswati
- Ungkap Makna Lewat Cicak-cicak

1 komentar:

Anonim mengatakan...

nice