Jalanan macet memang sudah biasa di Jakarta. Hari itu, sudah lebih dari 2 jam saya berada di jalan. Pantat sudah pedas. Amarah pun memuncak, walau entah pada siapa. Dalam hati segala sumpah serapah tumpah. Saya ada pilihan: turun dari Kopaja dan naik ojek, turun dari Kopaja-jalan agak jauh-lalu naik Trans Jakarta, atau tetap di Kopaja dan bersabar.
Pilihan pertama lewat karena uang tidak cukup, pilihan ketiga lewat karena kesabaran saya sudah di ubun-ubun. Ok, pilihan kedua yang paling tepat.
Masih sambil mengumpat dalam hati, saya bersiap untuk turun, dan seketika mata saya menangkap suatu objek:
Gua Maria
Patung Bunda Maria di dalam gua dan dengan ukuran mini, tampak bersahaja di sebuah kantor akuntan di pinggir jalan. Saya tertegun sejenak, menatap Bunda Maria yang seolah-olah sedang memandang saya.
Seketika amarah saya hilang, kembali duduk, dan menghela nafas. Baiklah Tuhan, saya belajar bersabar.