Ketika doa kita seolah tidak akan dijawab,
Tuhan sudah menjawabnya.
Dan, jawaban itu adalah 'tidak'.
Serpihan Huruf
Berawal dari huruf... berakhir dalam kalimat.
Agustus 18, 2010
Agustus 17, 2010
Agustus 13, 2010
Juni 14, 2010
Optimis Bukan Masokis
Sebut satu manusia tanpa masalah. Jawabannya NOL.
Karena masalah pada akhirnya mendatangkan kebahagiaan.
Seperti manusia mengenal siang karena ada malam.
Seperti manusia mengenal laki-laki karena ada perempuan.
Juni 13, 2010
Menonton Infus
Malam sebelumnya saya masih ketawa-ketiwi dengan Ibu.
Paginya saya sakit kepala luar biasa dan muntah tiada henti.
Siangnya saya dilarikan ke UGD karena tubuh lemas terkulai.
Sorenya saya mengigil hebat di ruangan UGD padahal infus sudah terpasang.
Malamnya saya dipindahkan ke kamar rawat inap.
Paginya saya sakit kepala luar biasa dan muntah tiada henti.
Siangnya saya dilarikan ke UGD karena tubuh lemas terkulai.
Sorenya saya mengigil hebat di ruangan UGD padahal infus sudah terpasang.
Malamnya saya dipindahkan ke kamar rawat inap.
Keesokan paginya, saya didiagnosa terkena deman dengue. Trombosit saya menurun. Selama 5 hari saya terkapar di ranjang putih dengan kerai di sekililing ranjang. Tidur sekamar dengan 2 orang pasien pesakitan lainnya. Bosan sudah tentu. Bahkan TV yang menjadi alat hiburan favorit saya pun tak bisa mengusir kebosanan saya. Lima hari terasa panjang. Hanya saat-saat makan adalah momen yang saya tunggu. Ya, untungnya walau saya sedang sakit, nafsu makan saya tetap ada. Hal yang jarang terjadi, karena biasanya kalau saya sakit, nafsu makan turun drastis.
Setiap malam saya kelaparan, karena makan malam diberikan pukul 5 sore. Bayangkan, jam LIMA sore! Biasanya jam segitu, saya lagi asyik minum kopi alias tea time bukan dinner time! Pasien sebelah saya berisik bukan main, membuat saya sering terbangun saat tidur.
Lalu apa yang saya lakukan? Selain TV dan makan, saya menonton infus. Bukan sekedar mengisi kebosanan, tapi karena takutnya infus habis dan saya tidak tahu. Tidak bisa selamanya mengandalkan perawat untuk memonitor kapan infus habis. Biasanya perawat terlalu sibuk untuk mengingat infus-infus dari sekian banyak pasien yang ada.
Dan, saya pun merenung. Menatap cairan bening berjalan melalui selang dan masuk ke kulit, mengalir melalui pembuluh darah ke seluruh tubuh. Ada kalanya, ketika saya bangun dari tempat tidur untuk ke kamar mandi, sambil menenteng-nenteng infus, aliran cairan infus macet. Saat macet, darah saya yang malah keluar dan naik ke selang infus. Jika saya kembali rebahan di tempat tidur, darah perlahan terdorang cairan infus dan kembali masuk ke tubuh. Di saat inilah, darah merah tampak memecah menjadi sel-sel kecil. Tiap butirannya menari kembali menjadi satu di dalam tubuh saya.
Melihat darah yang begitu kecil bisa mengisi seluruh tubuh manusia. Mengalir, menjelajahi, dan menghidupi manusia. Seketika saya merasa kecil. Hanya satu sosok manusia di alam semesta yang luas tak terbayangkan. Hidup dari hal-hal kecil, terbentuk dari hal-hal kecil.
Siapakah saya, seorang manusia yang ingin berontak pada Tuhan? Saya bukan siapa-siapa tapi sekaligus siapa. Sakit kali ini pun saya terima dengan segala kelapangan hati. Karena saya tahu, Tuhan sedang menyapa saya.
Jadilah kehendak-Mu, bukan kehendakku.
Setiap malam saya kelaparan, karena makan malam diberikan pukul 5 sore. Bayangkan, jam LIMA sore! Biasanya jam segitu, saya lagi asyik minum kopi alias tea time bukan dinner time! Pasien sebelah saya berisik bukan main, membuat saya sering terbangun saat tidur.
Lalu apa yang saya lakukan? Selain TV dan makan, saya menonton infus. Bukan sekedar mengisi kebosanan, tapi karena takutnya infus habis dan saya tidak tahu. Tidak bisa selamanya mengandalkan perawat untuk memonitor kapan infus habis. Biasanya perawat terlalu sibuk untuk mengingat infus-infus dari sekian banyak pasien yang ada.
Dan, saya pun merenung. Menatap cairan bening berjalan melalui selang dan masuk ke kulit, mengalir melalui pembuluh darah ke seluruh tubuh. Ada kalanya, ketika saya bangun dari tempat tidur untuk ke kamar mandi, sambil menenteng-nenteng infus, aliran cairan infus macet. Saat macet, darah saya yang malah keluar dan naik ke selang infus. Jika saya kembali rebahan di tempat tidur, darah perlahan terdorang cairan infus dan kembali masuk ke tubuh. Di saat inilah, darah merah tampak memecah menjadi sel-sel kecil. Tiap butirannya menari kembali menjadi satu di dalam tubuh saya.
Melihat darah yang begitu kecil bisa mengisi seluruh tubuh manusia. Mengalir, menjelajahi, dan menghidupi manusia. Seketika saya merasa kecil. Hanya satu sosok manusia di alam semesta yang luas tak terbayangkan. Hidup dari hal-hal kecil, terbentuk dari hal-hal kecil.
Siapakah saya, seorang manusia yang ingin berontak pada Tuhan? Saya bukan siapa-siapa tapi sekaligus siapa. Sakit kali ini pun saya terima dengan segala kelapangan hati. Karena saya tahu, Tuhan sedang menyapa saya.
Jadilah kehendak-Mu, bukan kehendakku.
Mei 21, 2010
Cicak dan Doa
Konon, cicak adalah binatang yang peka pada getaran.
Bahkan peka terhadap getaran doa.
Bahkan peka terhadap getaran doa.
Di beberapa daerah di Eropa Selatan, ada kepercayaan bahwa cicak adalah binatang beracun. Di India, bunyi cicak malah dianggap sebagai pertanda buruk. Masyarakat di India bagian utara percaya bunyi cicak dapat mendatangkan iblis ke dalam rumah, kecuali si penghuni langsung meniru decak cicak saat mendengar bunyi cicak tersebut.
Sebaliknya, bangsa-bangsa Austronesia, termasuk di dalamnya manusia Nusantara, percaya bahwa cicak memiliki kemampuan gaib. Suku Maori (suku asli di Selandia Baru) yang masih termasuk dalam rumpun Austronesia, percaya cicak merupakan simbol dunia spritual dan memiliki kekuatan gaib. Binatang ini dianggap membawa pertanda dari alam spiritual untuk manusia. Petunjuk dari Tuhan yang disampaikan ke manusia melalui cicak.
Keyakinan ini masih dipercaya pula oleh masyarakat Hindu Bali, sebagai warisan kepercayaan dari zaman purba Austronesia. Kepercayaan ini bukan berasal dari India, melainkan hasil akulturasi kepercayaan Austronesia dengan Hindu.
Salah satunya terlihat dari sajen untuk memuja Dewi Saraswati, dewi ilmu pengetahuan. Sajen ini disebut sebagai Jajan Saraswati, yang bentuknya bukan Dewi cantik, tapi malahan cicak. Sajen ini terbuat dari tepung beras dan terdapat lukisan dua ekor cicak. Mata cicak dibuat dari beras hitam dan di sebelahnya ada telur cicak. Sajen ini menyiratkan filosofi bahwa manusia sekiranya tidak hanya mengembangkan kemampuan logika saja, tapi harus mampu meningkatkan daya kepekaan intuisi agar mampu menangkap getaran-getaran spiritual.
Di kepercayaan yang berkembang di masyarakat Bali, jika seseorang mengucapkan sesuatu dan diiringi dengan bunyi cicak, orang tersebut secara refleks akan menyahut, "Turun Saraswati". Mengapa refleks? Karena hal ini sudah menjadi kebiasaan turun-temurun. Dengan menyahut "Turun Saraswati" maka diyakini apa yang telah diucap akan benar-benar kejadian. Ibaratnya bunyi cicak merupakan pertanda bahwa: "Tuhan mendengar ucapan saya".
Uraian di atas membawa saya ke sebuah kisah di suatu hari. Saat itu saya sedang berkumpul bersama kedua teman saya, Mercedes (sebut saja begitu) dan Wulan (setengah nama samaran), di kamar Wulan. Kebetulan Mercedes dan Wulan sedang dalam tahap mencari jodoh.
Aura curhat makin terasa serius ketika Mercedes mulai menceritakan kegundahan hatinya mengenai asmara. Betapa Mercedes memiliki keinginan dan ketakutan tertentu akan sebuah hubungan. Dia sampai beranggapan bahwa di luar sana tidak ada orang yang bisa sepaham dengannya. Saya pun balik membalas ucapan pesimis teman saya itu,
"Pasti ada lah. Pasti ada orang yang punya pemikiran sama dengan lo."
Sejurus kemudian, tiba-tiba saja terdengar bunyi cicak. Sontak saya langsung terduduk (posisi saya sebelumnya lagi tidur-tiduran) dan menyahut:
"Turun, Saraswati! Tuh kaaaan!"
Mercedes dan Wulan pun menatap saya dengan bingung. Saya pun menjelaskan panjang lebar kalau orang Bali menganggap sahutan cicak sebagai pertanda bahwa ucapan sebelumnya akan terjadi. Dan, inilah reaksi pertama dari Wulan: dia berteriak histeris dengan nada kesal sambil berkata,
"Ini rumah gue! Cicak-cicak gue! Kenapa baru bunyi pas giliran Mercedes sih??!! Gue bakal cari itu cicak! Kenapa giliran gue yang nyahut, dia gak bunyi?!"
Seketika itu juga, saya tertawa terbahak-bahak. Mercedes pun mengeluarkan kata-kata yang malah makin membuat Wulan panas.
Mungkin setelah itu, Wulan benar-benar mencari-cari si cicak, memasukannya ke kandang, dan memaksa si cicak untuk berbunyi. Oke, saya berlebihan (hehe).
Percaya atau tidak, keesokan harinya, Mercedes bercerita bahwa malam setelah kejadian cicak, dia berkenalan dengan seseorang yang sepaham dengannya mengenai asmara. Tentu saja hal ini mengagetkannya. Karena setelah bertahun-tahun, ternyata ada juga orang dengan prinsip yang sama dengannya.
Memang sosok itu belum tentu jodoh Mercedes. Tapi satu hal pasti, Mercedes tidak sendirian. Kalau ada dua orang dengan pemahaman yang sama, maka tidak menutup kemungkinan ada orang-orang lain di luar sana yang berpikiran serupa.
Sebuah pertanda yang sangat jelas, Tuhan tidak akan membiarkan manusia merasa sendiri.
- The Folklore of Geckos: Ethnographic Data From South and West Asia.
- Maori Gecko
- Hari Raya Saraswati
- Ungkap Makna Lewat Cicak-cicak
Januari 10, 2010
A Thing Called Happiness
Setiap orang berhak mendapatkan kebahagiaan.
Tapi kalau kebahagiaan itu menginjak dan
membuat orang lain menderita,
apakah itu yang disebut ‘bahagia’?
Januari 05, 2010
Chat di Tengah Jam Kerja
"Gue lagi ga ngeplan hidup gue,
lagi mo let it flow,
lihat nanti aja.
Selama 3 tahun ini,
Hidup gue sesuai dengan garis yang gue tentukan
dan tuntutan plus target yang gue buat sendiri.
Sudah saatnya gue membebaskan diri,
lihat kesempatan atau apapun yang mungkin ada di depan.
Kalau pun itu ternyata rintangan,
gue yakin itu juga buat memperkaya diri gue."
lagi mo let it flow,
lihat nanti aja.
Selama 3 tahun ini,
Hidup gue sesuai dengan garis yang gue tentukan
dan tuntutan plus target yang gue buat sendiri.
Sudah saatnya gue membebaskan diri,
lihat kesempatan atau apapun yang mungkin ada di depan.
Kalau pun itu ternyata rintangan,
gue yakin itu juga buat memperkaya diri gue."
Desember 27, 2009
Pertanda di Kala Macet
Kopaja tidak bergerak. Peluh bercucuran. Depan mobil, belakang mobil, samping kanan mobil, samping kiri motor. Sejauh mata memandang hanya ada mobil, bus, dan motor. Patung Pemuda di Bunderan Senayan sudah tampak di pelupuk mata. Rasanya begitu tergapai tapi tak bisa beranjak.
Jalanan macet memang sudah biasa di Jakarta. Hari itu, sudah lebih dari 2 jam saya berada di jalan. Pantat sudah pedas. Amarah pun memuncak, walau entah pada siapa. Dalam hati segala sumpah serapah tumpah. Saya ada pilihan: turun dari Kopaja dan naik ojek, turun dari Kopaja-jalan agak jauh-lalu naik Trans Jakarta, atau tetap di Kopaja dan bersabar.
Pilihan pertama lewat karena uang tidak cukup, pilihan ketiga lewat karena kesabaran saya sudah di ubun-ubun. Ok, pilihan kedua yang paling tepat.
Masih sambil mengumpat dalam hati, saya bersiap untuk turun, dan seketika mata saya menangkap suatu objek:
Patung Bunda Maria di dalam gua dan dengan ukuran mini, tampak bersahaja di sebuah kantor akuntan di pinggir jalan. Saya tertegun sejenak, menatap Bunda Maria yang seolah-olah sedang memandang saya.
Seketika amarah saya hilang, kembali duduk, dan menghela nafas. Baiklah Tuhan, saya belajar bersabar.
Jalanan macet memang sudah biasa di Jakarta. Hari itu, sudah lebih dari 2 jam saya berada di jalan. Pantat sudah pedas. Amarah pun memuncak, walau entah pada siapa. Dalam hati segala sumpah serapah tumpah. Saya ada pilihan: turun dari Kopaja dan naik ojek, turun dari Kopaja-jalan agak jauh-lalu naik Trans Jakarta, atau tetap di Kopaja dan bersabar.
Pilihan pertama lewat karena uang tidak cukup, pilihan ketiga lewat karena kesabaran saya sudah di ubun-ubun. Ok, pilihan kedua yang paling tepat.
Masih sambil mengumpat dalam hati, saya bersiap untuk turun, dan seketika mata saya menangkap suatu objek:
Gua Maria
Patung Bunda Maria di dalam gua dan dengan ukuran mini, tampak bersahaja di sebuah kantor akuntan di pinggir jalan. Saya tertegun sejenak, menatap Bunda Maria yang seolah-olah sedang memandang saya.
Seketika amarah saya hilang, kembali duduk, dan menghela nafas. Baiklah Tuhan, saya belajar bersabar.
Juni 07, 2009
Sualalita*
Di saat manusia semakin menjauh dari mimpinya, entah disadari atau tidak disadari makin melenceng dari jalur yang mengarahnya ke mimpi, Tuhan hadir dengan berbagai pertanda.
Beberapa hari ini, saya seperti diberikan petunjuk. Mula-mula saya tidak ngeh, tapi lama-kelamaan saya merasa Tuhan sedang berbicara pada saya. Seperti sedang membangunkan saya dari tidur yang enak.
Ketika tersadar, saya pun merasa sedih bercampur bahagia. Sedih, karena bagaimana mungkin saya bermalas-malasan tanpa usaha mengejar mimpi dan bahagia karena Tuhan masih menuntun saya.
Saya jadi teringat seorang teman yang bertanya bagaimana cara menangkap dan membaca pertanda dari Tuhan. Saat itu saya hanya bisa berkata: Mintalah, maka kau akan diberi. Menangkap dan membaca pertanda adalah sesuatu yang intim dan personal hingga susah dijelaskan. Sama halnya saat kita jatuh cinta, kita tidak akan bisa menjelaskan mengapa kita bisa jatuh cinta.
Mintalah untuk diberi kemampuan memahami bahasa alam, mengenal sebuah pertanda, dan memaknainya. Tapi, satu hal yang pasti, pertanda seringkali merupakan hal-hal kecil yang malah bagi orang lain dianggap sepele. Yang mengerti hanya hati sendiri.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
* Sualalita = pertanda
sua = manusia
lali = lupa
ta = Tuhan
('manusia lupa karena itu dingatkan Tuhan' - berasal dari bahasa Sansekerta)
Mintalah untuk diberi kemampuan memahami bahasa alam, mengenal sebuah pertanda, dan memaknainya. Tapi, satu hal yang pasti, pertanda seringkali merupakan hal-hal kecil yang malah bagi orang lain dianggap sepele. Yang mengerti hanya hati sendiri.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
* Sualalita = pertanda
sua = manusia
lali = lupa
ta = Tuhan
('manusia lupa karena itu dingatkan Tuhan' - berasal dari bahasa Sansekerta)
Langganan:
Postingan (Atom)